Rabu, 18 November 2015

Engkau, sang rindu.

Masih tentang kerinduan yang kurasakan dalam diam. Tentang kerinduan yang tak mampu kuungkapkan meski beribu kekuatan telah ada dalam genggaman. Tentang kerinduan yang tak mampu terlihat namun hanya mampu dirasa oleh hasrat.

Hai Kerinduan..
Entah sejak kapan kau menyarang melumpuhkan pikiran. Entah sejak kapan kau mencoba mengecoh perasaan. Entah sejak kapan kau hadir sebab tak pernah sedikitpun aku bayangkan. Entah aku yang mengundang atau kau malah datang tak bertujuan.

Bagaimana bisa kerinduan yang aku maksud ini ada sedangkan namanya tak pernah lepas dalam setiap doa. Bagaimana bisa kerinduan ini nyata sebab sisa-sisa cintanya telah mati tak bernyawa di dalam asa. Bagaimana bisa kerinduan yang menyayat memberi luka menghadirkan bahagia kala jumpa.

Kerinduan ini sungguh nyata, senyata aku mencintainya tanpa celah. Kerinduan ini begitu menyiksa, seperih luka kala dia biarkan aku tuk merela. Lantas jika ku mengerti betapa kerinduan ini layaknya anak panah yang menancap tepat ke jantung jiwa, bagaimana bisa aku tetap membiarkan kerinduan ini menetap dalam waktu yang relatif tak singkat.

Hai kerinduan ..
Mampukah kau beranjak dari tempat yang tak mampu ku lihat?
Mampukah kau lenyap atas gangguan yang telah kau perbuat?
Jika mampu, segeralah mencari tujuan yang sedang dalam rasa tak mampu melawan merah di wajah. Jika mampu, segeralah berada pada nyawa yang dalam keadaan tak ingin berpisah.
Karena aku bukan mereka.

Hai kerinduan..
Maaf atas kekesalan akan rasa yang kau hadirkan. Maaf atas keengganan untuk mengakui bahwa kau sungguh berarti. Maaf atas kemunafikan menganggap bahwa kau tak aku ingini.

Sesungguhnya bukan kau yang patut menjadi sasaran amarah. Namun dia yang tak pernah kulupa meski sedetik masa. Dia yang selalu kuingat dalam jiwa. Dan dia yang selalu ada dalam kedua bola mata. Kau dan dia berhubungan dalam garis lurus yang sama. Kau kan datang kala ku tak jumpa dia. Kau kan datang kala begitu ingin kutatap wajahnya. Namun apa daya, untuk menyatakan bahwa dia layaknya dahaga yang menginginkan telaga saja tak sanggup ku jelaskan dalam kata. Hingga nyatanya dia adalah fatamorgana yang telah menipu mata.

Andai dia mengerti makna dari setiap kata yang terukir indah mungkin kau takkan menjadi-jadi layaknya api yang tak ingin mati. Andai dia tak menipu rasa yang kupunya, mungkin kau tak pernah ada. Andai dia tak pernah menyapa, mungkin kau takkan pernah hadir dalam jiwa.

Hai kerinduan..
Tolong aku. Bisakah kau sedikit saja tak memberi luka. Meski ku tau bahwa senyatanya bukan kau lah yang salah. Namun dia yang sang rindu bawa dalam perasaan yang tak pernah bersalah.

Haruskah kuakui bahwa aku begitu merindu? Merindukan dia yang entah sempat tuk mengingatku meski sedetik waktu. Merindukan dia yang mampu buatku diam membisu. Merindukan dia yang begitu kubutuh kala kau datang mengusik kalbu.

Aku merindu dengan segala kekuatan yang tak pernah sedikitpun aku bayangkan. Andai waktu mampu tuk menunggu betapa aku sungguh lugu karena tak mampu tuk mengaku bahwa nyatanya rindu telah mengusik diriku sejak awal bertemu. Andai waktu mampu tuk kembali bertemu dalam ketidakmampuanku tuk mengolah jiwa yang sempat ditakdirkan tuk menyatu.

Andai saja.. Andai saja..
Namun apa daya dia yang kurindu sepanjang masa hanya mampu tuk ku simpan di dalam rasa yang sungguh tak biasa.
Ingin kukatakan bahwa aku merindukannya begitu nyata jauh sebelum aku memastikan bahwa aku sangat mencintainya.
Aku merindunya. Sangat.. Teramat sangat..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar