CerpenKu^

WAKTUNYA UNTUK PERGI

            Aku terdiam seribu bahasa tak mampu mengatakan apapun, aku tediam, kaget dan tak percaya dengan apa yang terjadi padaku saat ini. Air mata yang jernih nan tawar itu mengalir dengan sendirinya melalui pipi-pipi yang lembut, mata yang bulat menatap tanpa arti, dan raga ini hanya mampu terduduk bersandar pada sebuah tiang jalanan dengan lampu yang menyala redup. Ku tekukkan kaki ini dan memeluknya. Aku merasa kedinginan namun tubuhku merasakan aura panas dari api yang tengah mengobar di hadapan bola mataku.

            Sebuah mobil yang dalam posisi terbalik sedang terbakar akibat menumbur pembatas jalan. Aku tak tahu mengapa aku bisa berada di luar mobil, karena aku adalah salah satu dari 4 orang yang berada di dalam mobil. Yang otak kecil ini mampu fikirkan adalah, di mana adikku? Di mana ayah dan ibuku? Aku takut! Kaki panjang yang tertutupi lepis hitam bergetar, aku berusaha berdiri menopang tubuh yang sangat lemah. Aku mulai mendekati kobaran api, namun aku merasa seperti terbakar, lalu aku mundur beberapa langkah. Aku kembali menangis, tak mampu ku menahan kesedihan akan kenyataan yang begitu menyakitkan ini, kututup mata dan terduduk berlutut. Aku tak bisa menerima kenyataan :(

            “ngingung..ngingung”, suara ambulan yang semakin kuat menyadarkan aku bahwa semuanya nyata. Kututup telingaku rapat-rapat, aku menjerit.. “suara itu! Suara itu benar-benar mengganggu!”. Aku takut pada suara itu, hingga aku merasa seperti darah yang akan keluar dari mata ini. Jantungku berdetak sangat kencang dan aku terkapar kembali di pinggir jalan, api yang tadinya sangat besar kini mulai padam akibat diguyur air hujan yang juga membasahi tubuh lemah ini.

            Seseorang datang menghampiri, aku yang masih tak percaya dan masih sangat terkejut secara spontanitas melepaskan tangan orang yang akan menuntukku menuju ke dalam mobil. Aku marah, aku membentaknya karena aku tak ingin pergi kemanapun sebelum aku memastikan seluruh keluargaku selamat. Aku berlari mengelilingi mobil yang masih mengluarkan asap, bola mataku melirik-lirik cepat mencari sesuatu. Tak mampu kumenahan tangis saat aku melihat sesosok mayat yang telah hangus terbakar yang sedang dikeluarkan dari mobil oleh beberapa polisi. Lalu kusadari bahwa itu adalah ayahku. Aku.. aku.. aku terdiam melongo, sekalilagi aku berusaha untuk tidak mempercayai apa yang aku lihat, namun mau tak mau, semua itu adalah faktanya, seorang suster berusaha memelukku dan aku terhanyut dalam suasana dan aku menangis dalam pelukan suster yang manis itu.

            “Kak! Kak! Kakak….!”, aku mendengar seseorang yang memanggil dengan suara yang bergetar mengucapkan kata kakak! Aku segera tersadar dalam pelukan sang suster. Aku yang juga dipanggil kakak oleh adikku berharap bahwa suara panggilan itu berasal dari bibir tipis adikku. Dan ternyata itu memang benar setelah aku melihat seorang polisi yang menggandeng bocah yang menggunakan switter biru berjalan ke arahku. “aldi………..”, kupanggil namanya dan kurentangkan tanganku. Aldi berlari dan memelukku, dia menangis. Aku berusaha untuk tidak menangis saat dia menangis. Aku tahu bahwa adikku merasakan dan mengetahui semua hal yang terjadi. Yah, dia memang sudah besar. Dia hanya beda 3 tahun dari umurku sekarang.

            Aku merasakan tubuhnya bergetar, aku berusaha untuk menenangkan mentalnya. Dia menangis terseduh-seduh seperti air hujan yang turun sangat deras. “semua akan baik-baik saja dedek sayang!”, itulah kalimat yang terus aku katakan. Suasana mulai ramai saat tubuh ibu ditemukan hingga membuat para suster bergegas memasukkan tubuh ibu ke dalam mobil  ambulan. Kami berdua disuruh masuk ke dalam mobil mengikuti kemana mobil itu berjalan. Supir mobil menjalankan mobil menuju rumah sakit. Karena mereka menyadari bahwa nyawa ibu masih berada di tubuhnya.

            Di dalam mobil aku masih menggenggam tangan aldi yang dingin. Aldi hanya memandangi wajah ibu yang hidungnya diberi selang kecil yang mengalirkan oksingen ke paru-parunya. Kutatapi dalam-dalam wajah ibu, aku tersenyum melihat wajah manisnya yang tidak tersentuh oleh api sedikitpun. Namun ketika aku melirik pada orang yang terbaring di sebelah ibu dengan tubuh ditutupi kain. aku menangis karena aku tahu bahwa orang itu adalah ayah. Tiba-tiba kepala aldi tersandar di bahuku, aku meliriknya ternyata dia tertidur dan aku mengelus-elus pipinya.

            Mobil berhenti dan pintu mobil dibuka, beberapa perawat datang dengan mendorong tempat berbaring untuk para pasien. Ibu dibaringkan, begitu juga ayah. Sesegera mungkin aku membangunkan aldi, mengikuti para perawat mengitari ruangan yang besar. Bau obat menusuk hidungku, kelihat kecemasan di wajah orang-orang yang berada di dalam rumah sakit itu. Kami berlari mengitari lorong, namun kaki ini sempat berhenti karena bingung jalan mana yang akan aku ikutikarena ayah dipindahkan perawat ke ruang mayat sedangkan ibu masih dibawa. Kuambil keputusan untuk mengikuti perawat yang membawa ibu, namun kali ini kami dihentikan oleh dokter untuk tidak memasuki ruang ICU.

            Aku duduk dan berdoa meminta pada tuhan untuk tidak mengambil kedua orang yang sangat aku sayangi. Aku terus menerus berdoa, aku takut. Aku takut hidup tanpa ada orang yang menuntun hidup. Aku memikirkan adikku, dia pasti tidak mampu bertahan tanpa ayah dan ibunya. Namun, harapan tinggal harapan setelah dokter yang memeriksa ibu menyatakan bahwa nyawa berharga sang ibu tidak dapat diselamatkan. Aldi berteriak dan menangis. Aku berusaha menahan air mataku dan kami bersama-sama melihat ibu.

            Air mata merupakan sebuah bukti betapa menyakitkannya kenyataan ini. Penderitaan tersakit adalah kehilangan. Hati berusaha tegar menghadapi semua. Dan ini tak mampu dikatakan betapa sakitnya, betapa tak mungkinnya, bagai berlari ke bulan.

            Dan kini waktunya untuk melakukan upacara pemakaman. Hati kembali miris saat semua dimasukkan ke dalam tanah yang berukuran panjang kurang lebih 2meter. Sungguh ironi, pengeran kecilku tak menangis, namun kutemukan kesedihan itu di mata bulatnya. Aku rasa kali ini dia berusaha tegar di hadapanku.

            Kuraba tanah kubur itu, kusentuh papan nisannya dan inilah waktunya bagi mereka untuk pergi. Selamat jalan ayah, selamat jalan ibu. Pergilah dengan tenang ke sisi tuhan membawa pengharapan dari kami dan ceritakan semua hal yang telah kalian alami pada tuhan, dan damailah disana. Lihat dan jagalah kami dari atas sana. Jangan pernah menangis lagi karena kami akan berusaha untuk tidak menangis. Karena kami mencintai kalian.

            Setelah pemakaman selesai, kami berdiri dan segera pergi. Namun sebelum aku melangkahkan kaki, aku menyelipkan selembar kertas di dekat nisan ibu. Kertas yang berisi kata-kata hati untuk sang ayah dan ibu :)

Tak lagi kurasa hangat belaimu
Tak lagi kulihat senyum indahmu
Tak lagi kudengar suaramu
Dan tak lagi kutemukan hadirmu

Kini kau berada di bawah beberapa papan
Kain putih telah menutupi tubuh itu
Namamu tertulis tetap di sebuah papan nisan
Dan bunga-bunga indah menutupi tempat tidurmu

Kau pergi melayang ke atas awan
Melewati atmosphere jauh kesana
Tubuhmu telah memiliki sayap putih
Wajah manismu kian bercahaya

Tak mampu kutahan semua keperihan
Namun pergilah dengan tenang
Bawalah sebuah senyuman
Dan kenanglah semua kenangan

Kami mencintaimu, ayah dan ibu
Selamat jalan dalam damaimu..

Sevrinda Anggia Sari^^ 

1 komentar:

  1. maaf ya aku baca sampe habis, smoga yg trjadi sama kmu bisa jadiin kamu orng yang brhati kuat.

    BalasHapus